Tak Ada Peringatan Dini, 13 Orang Meninggal dan 57 Luka-Luka

bantenproNews – Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur mengalami erupsi disertai awan panas guguran, Sabtu (04/12/2021) sekitar pukul 15.00 WIB.

Plt Kapusdantinkom Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan, total korban meninggal dunia akibat erupsi Gunung Semeru hingga Minggu (05/12/2021) pagi, sudah sebanyak 13 orang.

Abdul Muhari menegaskan itu, setelah mendapatkan informasi dari Kepala BNPB yang ada di lapangan saat ini.

“Informasi yang kami terima dari Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto yang saat ini ada di lapangan, korban meninggal sudah 13 orang,” kata Abdul Muhari, dalam program Breaking News tvOne, Minggu 5 Desember 2021.

Terkait identitas para korban meninggal dan apa penyebabnya, saat ini belum bisa diberikan. Abdul Muhari mengatakan, saat ini masih terus dilakukan identifikasi terhadap para korban yang meninggal tersebut. Apakah para korban ini luka bakar atau seperti apa.

“Identifikasi sedang dilakukan oleh pihak-pihak di Lumajang,” katanya.

Untuk penjelasan lebih detail mengenai korban-korban tersebut, ia mengatakan akan ada penjelasan lebih lanjut nantinya.

Sementara itu, untuk korban luka masih ada 57 orang. Pengungsi dari warga terdampak saat ini BNPB menyebut mencapai 902 orang yang berada di beberapa tempat pengungsian.

Erupsi Gunung Semeru menyisakan kepedihan bagi warga terdampak. Salah satunya, warga Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.

Setidaknya 1.000 jiwa lebih harus mengungsi, karena tempat tinggalnya rusak diterjang abu vulkanik. Warga mengaku tidak ada tanda-tanda peringatan dini sebelum Semeru erupsi.

“Tidak ada tanda-tanda Semeru akan erupsi, tidak ada peringatan apapun kalau Semeru akan meletus,” ujar Abdul Manaf (54), salah satu warga Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang ditemui di posko pengungsian, dikutip dari detikcom, Minggu (05/12/2021).

“Jika memang kami diberi tahu akan erupsi, tentunya masyarakat sudah siap. Karena saat erupsi tengah beraktivitas seperti biasa,” sambungnya.

Abdul Manaf mengaku, saat erupsi terjadi dirinya tengah berada di halaman rumah. Banjir lahar dingin dan lava turun dan menumpuk. Disusul kemudian awan panas turun ke perkampungan.

“Saat itu saya ada di dalam rumah. Istirahat setelah aktivitas di luar, dan kejadian ini luar biasa dari tahun lalu,” ujarnya.

Suasana sore di tengah turun hujan langsung berubah gelap gulita seperti malam hari. Dalam kondisi itu, Abdul Manaf bergegas menyelamatkan istri dan anaknya.

“Kemudian saya lari ke halaman rumah dan tiba-tiba cuaca seperti malam hari, sudah gelap gulita. Kemudian saya tarik anak saya masuk kedalam rumah lalu pintu saya tutup. Saya sudah pasrah dan khawatir saat itu dan merasa sudah tidak akan selamat,” kenang Abdul Manaf.

Beberapa waktu kemudian, Manaf melihat ada cahaya terang. Perlahan beransur hilang suasana gelap gulita.

“Terus cuaca akhirnya kembali seperti semula dan saya lari menyelamatkan diri,” tutup Manaf.

Abdul Manaf saat ini berada di salah satu titik pengungsian yang didirikan secara darurat oleh Kecamatan Pronojiwo. Lokasinya adalah masjid yang belum selesai dibangun. (bpro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *